5 Hari Keliling Burma Myanmar (Part 1)


Myanmar, nama negara yang akhir-akhir ini sering saya dengar beritanya di media massa. Bukan karena berita tentang pariwisatanya melainkan berita tentang pengusiran suku Ronghiya, ditambah tiga hari sebelum keberangkatan ke Myanmar, adik saya memberitahukan bahwa kondisi di beberapa daerah disana tengah dilanda banjir besar hingga Myanmar membuka diri untuk bantuan Internasional.

Sempat terpikirkan oleh saya untuk mengurungkan niat pergi ke Myanmar dan mencari destinasi lain. Entah kenapa batin kecil saya menyuruh untuk tetap pergi.

"Kalau belum dicoba kan gak bakal tau kondisi aktual disana" bisik batin kecil sedikit nekat menyuruh untuk tetap pergi ke Mynamar, dengan berbekal lembaran dollar (satu lembar $100, dua lembar $20 dan selembar $10) menjadi budget selama lima hari disana dengan menyinggahi empat destinasi utama di Myanmar yaitu Yangon, Inle Lake, Mandalay dan Bagan.   

Kamis, 13 Agustus 2015 - Pesawat dengan kode penerbangan AK 504 berhasil dengan mulus mendarat di Bandara Internasional Yangon pukul 8 pagi. Rintik air hujan mengguyur area Bandara pagi itu namun tidak teralu deras. Saya pun segera menuju imigrasi (bebas VISA) sebelum akhirnya menukarkan lembar dollar dengan mata uang lokal Myanmar (Kyat, baca 'chat') rate hari itu sebesar 1240 Kyat per USD selisih sangat jauh jika dibandingkan dengan rupiah yang sudah menembus 14000 per USD per Agustus ini.
"Yangon International Airport"
Hujan rintik menyambut di Bandara Internasional Yangon | Myanmar


Longyi everywhere
Jangan kaget jika melihat banyak kaum pria Myanmar berpergian mengenakan bawahan berupa sarung/longyi (baca longji) ketika berada di tempat umum seperti bandara. Sepertinya longyi sudah menjadi pakaian yang biasa digunakan untuk kegiatan sehari-hari mulai dari berangkat ke kantor hingga sekolah.

Belum selesai kaki ini meninggalkan pintu keluar bandara saya segera disambut oleh kerumunanan pria ber'longyi dengan antusiasnya menanyakan tujuan saya sambil menawarkan jasanya.

"Taxi Sir, Taxi....!" pinta supir taxi sambil mengikuti saya hingga keluar bandara meskipun saya sudah bilang tidak. Tujuan saya sesampainya di Myanmar adalah pergi ke Sule Road, untuk menuju ke Sule Road saya lebih memilih angkutan umum berupa bus karena biayanya jauh lebih murah sebesar 200 Kyat ketimbang taxi 8000 Kyat, disamping murah meriah ada keseruan tersendiri naik angkutan umum di negara asing dan lebih berinteraksi dengan penduduk lokal. 

Untuk naik bus ke Sule Road terlebih dulu saya harus berjalan sekitar 15 menit dari bandara (keluar bandara belok kanan) menuju halte bus terdekat. Celakanya angkutan umum di Myanmar seperti bus yang akan saya naiki menggunakan tulisan Burma (mirip-mirip tulisan Thailand yang serba kriting) yang menunjukan rute dan nomor bus tersebut. Bus dengan nomor 51 tujuan Sule Road menjadi target saya dan karena saya buta huruf Burma maka saya tanya kepada ibu tukang sapu yang berada di sekitar halte tentunya dengan sedikit bahasa tarzan akibat perbedaan bahasa.

Saya menunjuk setiap bus yang hampir mendekati halte, berharap bus nomor 51 lah yang datang.

"No, no, no...." ucap ibu tersebut sambil melambaikan tangan kalau bus yang saya tunjuk bukan nomor 51.

Tidak lama bus yang saya tunggu pun datang bus nomor 51 (angka satu seperti huruf C terbalik dan angka lima seperti angka sembilan terbalik), bus seperti metro mini kebanyakan yang ada di Jakarta, bedanya supir bus di Myanmar sedikit lebih disiplin, mereka hanya mau menurunkan dan menaikan penumpang persis di depan halte yang banyak dijumpai di sepanjang jalan besar. Senyum hangat sang kernek (dengan alis tebal seperti disulam) terlihat heran ketika melihat saya, sambil meminta ongkos sebesar 200 Kyat (Rp.2000). Beberapa penumpang yang akan pergi ke kantor pun terlihat sambil mengenakan sarung 'longyi', gantian saya yang terheran. 
"Local bus in Yangon Myanmar"
Bus lokal di Myanmar
Dan lebih membuat saya terheran kembali ketika melihat kendaraan yang lalu lalang di kota ini (Yangon), ada yang setirnya di sebelah kanan ada juga yang di sebelah kiri dan setiap kendaraan yang melintas tampak rukun dengan perbedaan posisi setir tanpa saling tabrak. Di Yangon kendaraan roda dua (motor) juga jarang terlihat karena memang pemerintah setempat tidak mengizinkan beroperasinya motor di kota ini, yang membuat jalan besar di kota ini sangat dipadati oleh mobil pribadi menyebabkan macet panjang disetiap lampu merah. 

Selain itu banyak kaum pria di Myanmar gemar mengunyah sirih hingga sangat mudah sekali dijumpai penjual sirih di berbagai sudut kota, lebih mudah melihat pria mengunyah sirih daripada melihat yang menghisap rokok. Mungkin produsen rokok harus menciptakan rokok rasa sirih agak banyak dibeli pria Myanmar.


"Yangon Street"
Area sekitar Sule Road
Kedatangan saya ke Myanmar di bulan Agustus sepertinya memang kurang tepat, karena bertepatan dengan musim hujan, tak heran jika kota Yangon beberapa kali diguyur hujan, agak sedikit mati gaya sebenarnya karena beberapa objek yang ingin saya datangi kebanyakan berada di luar ruangan seperti Shwedagon Pagoda salah satu bangunan ikonik kota Yangon. 

--The destination is important but the journey most important-- quote bijak tersebut seolah menghilangkan sedikit rasa kecewa karena hujan, toh saya sudah sampai di Myanmar dalam keadaan selamat juga sudah bersyukur, dan diberikan kesempatan untuk eksplorasi berbagai tempat yang belum pernah saya datangi sebelumnya, yang terpenting adalah perjalanannya bukan destinasi yang utama berkali-kali saya ukir kalimat tersebut di pikiran.

Siang itu saya putuskan makan siang terlebih dahulu sebelum mengunjungi 'Bogyoke Aung San Market', terlebih dahulu mencari rumah makan 'halal' di hiruk pikuk kota Yangon. Sebenarnya mencari makanan halal di Yangon gampang-gampang susah, rumah makan yang menyediakan makanan halal biasanya memasang tulisan '786' di depan toko mereka namun ada juga yang hanya menulis '786' di buku menu memastikan makanan yang akan dipesan halal. Berkeliling beberapa blok mencari logo/tanda halal akhirnya pilihan saya jatuh pada rumah makan dengan logo halal kecil bersembunyi di ujung kanan atas diantara gambar-gambar menu makanan yang dijajakan. Dengan memesan mie campur udang seharga 2500 Kyat sebagai menu makan siang mengisi perut kosong.


Rumah makan halal '786' di sudut kota Yangon
"Mosque at Yangon Myanamar"
Masjid di Area Sule Road


Selesai urusan perut sekarang giliran mencari masjid untuk sholat Dzuhur, beberapa masjid besar terdapat di area Sule Road sehingga tidak teralu susah menemukan masjid di area yang terlihat beberapa penduduk lokalnya mengenakan kopiah (peci) sedang berjualan di pinggir jalan, jauh dari bayangan saya sebelumnya bahwa kaum minoritas (muslim) tidak mendapat tempat di negara ini seperti maraknya berita di media massa, akan tetapi mereka sama seperti di Indonesia hidup rukun berdampingan. 

Awan mendung masih menghiasi langit kota Yangon, destinasi selanjutnya memang sengaja saya mencari yang berada di dalam ruangan alih-alih menghindari hujan turun. Pasar Bogyoke Aung San namanya, merupakan tempat yang harus dikunjungin ketika berkunjung ke Myanmar terutama Yangon. Di pasar ini menjual berbagai macam barang dan souvenir khas Myanmar, mulai dari gantungan kunci, barang antik dan yang paling banyak di cari turis adalah perhiasan berupa batu alam seperti giok dan batu rubi. Myanmar memang terkenal akan kualitas batu giok dan rubinya sehingga tak heran ada beberapa tempat atau daerah khusus penambangan batu alam harus memerlukan surat izin khusus ketika hendak dimasuki turis asing.


"Bogyoke Aung San Market Street"
Jalan di sekitar Bogyoke San Aung Market
Berjalan melewati jembatan penyebarangan, saya memilih lewat pintu masuk sejalan dengan jembatan tersebut. Belum memasuki area pasar tiba-tiba pemuda berumur sekitar 20 tahun menghampiri saya.

"Malaysia??? Hendak cari apa??" tanya pemuda tersebut menggunakan bahasa Melayu dengan terbata-bata ketika melihat muka saya.

"Indonesia not Malaysia, hendak lihat batu" jawab saya kepada pemuda tersebut.

"Mari ikut saya!" pintanya, dia seolah sudah tau saya hendak mencari apa, langsung dibawanya saya masuk ke dalam pasar melewati kios-kios yang menjual baju dan kain sebelum akhirnya di salah satu lantai isinya pedagang batu semua. Rupanya pemuda tersebut pernah bekerja di Malaysia sehingga bisa sedikit bahasa Melayu.

Tidak lama sampailah saya disebuah kios kecil berukuran 2x2 meter persegi dengan etalase kaca memamerkan berbagai jenis batu dan perhiasan seperti cincin. Sekilas tempat ini mirip seperti pasar batu akik di Jatinegara Jakarta, bedanya batu yang dijual di tempat ini bukanlah batu akik melainkan batu alam seperti rubi, topaz dan giok.

Dikenalkanlah saya kepada pemilik kios bernama Mohd Noor, pria berbadan tambun asli Myanmar ini juga pandai bercakap Melayu, karena setiap satu bulan sekali dia pergi ke Malaysia untuk menjual batu alam. 
Kios batu alam Mohd Noor...recommended seller :)

Melihat berbagai jenis batu dengan bentuk dan warna yang mencolok mata, mengundang rasa penasaran saya untuk tau lebih dalam, maklum saya masih awam di dunia perbatuan, segera tanpa basi basi saya tunjuk berbagai jenis batu yang terpajang di dalam etalase kaca.

"Ini batu apa?? Berapa harganya??" berondong pertanyaan saya kepada Noor penasaran ketika melihat banyaknya jenis batu dengan warna warna yang sangat indah dipandang mata. 

Berbagai jenis batu yang dijual didapatkanya dari daerah Mogok di Myanmar Utara, kota tersebut memang terkenal akan penghasil batu alamnya sehingga medapat julukan 'Ruby Land'. Batu yang di jual ditawarkan dengan harga bervariasi tergantung dari jenis, kualitas dan ukuran. Untuk batu jenis ruby atau topaz dengan kualitas rendah dan ukuran kecil ditawarkan sebesar 3000 Kyat (Rp. 30.000,-) hingga batu dengan kualitas bagus ditawarkan hingga ratusan ribu Kyat. Untuk harga masih bisa ditawar hingga benar-benar cocok dengan kantong pembeli. 




Dipilih-dipilih batu alamnya! :P
Selain menjual batu alam ditempat ini juga terdapat tempat untuk memeriksa keaslian dari batu alam, jika Anda membeli batu dan masih ragu dengan keasliannya maka dengan mengeluarkan uang sebesar 2000 Kyat dan kurang dari 30 menit Anda dapat mengetahui apakah batu yang Anda beli asli atau palsu, juga terdapat surat keterangan jika batu tersebut memang asli jadi jangan khawatir tertipu jika membeli batu di tempat ini.

Puas berbincang  dan mengetahui berbagai jenis batu dari Noor, hingga tak sadar waktu sudah sore dan saya harus bergegas ke tempat pembelian tiket bus untuk bertolak ke Nyaungshwe (Danau Inle). Berbekal tulisan Burma yang ditulis oleh Noor dan menanyakan dengan menunjukan kepada orang di jalan, akhirnya ketemulah tempat penjualan tiket yang ternyata dekat dengan Aung San Stadium hanya berjarak 10 menit dengan berjalan kaki dari Bogyoke Aung San Market.

Dengan tiket bus malam seharga 17500 Kyat, bus berangkat jam tujuh malam dari terminal Aung Mingalar dan menempuh perjalanan selama 14 jam hingga sampai daerah Nyaungshwe, untuk tiket bus yang saya beli sudah termaksud tiket terusan kendaraan mobil kecil dari Nyaungshwe ke Danau Inle. Dan dengan uang 1000 Kyat saya diantar dari tempat pembelian tiket bus ke terminal Aung Mingalar yang berjarak 45 menit, jika menggunakan taxi bisa memakan biaya sebesar 8000 Kyat. 

Tepat pukul 7 malam bus besar dengan row kursi dua satu pun berangkat, tidak banyak penumpang berangkat malam ini terlihat dari beberapa bangku kosong. Bus kelas VIP ini sengaja saya pilih agar nyaman untuk istirahat selama 14 jam, sebagai pengganti kamar hostel yang sengaja tidak saya pesan dan sesuai dengan rencana selama lima hari saya akan tidur di bus antar kota bukan di kamar hostel untuk menghemat waktu dan uang. 
14 jam Yangon ke Nyaungshwe (Danau Inle) by Bus 
Fasilitas yang ditawarkan bus ini berupa kursi empuk (plus selimut) yang nyaman, ruang yang cukup untuk merebahkan kaki saya yang panjang, ada juga welcome drink berupa segelas kopi hangat, makanan ringan berupa tiga jenis cake ditambah air mineral. Tidak seperti artikel yang saya baca di internet, konon bus malam di Myanmar terkenal akan kegaduhan supir bus yang hobi menyetel keras-keras lagu Myanmar hingga membuat penumpangnya tidak bisa tidur pulas, tapi alhamdulilah bus yang saya tumpangi malam ini tidak demikian. Supir memang menyetel video karaoke lagu Myanmar tapi tidak keras dan saya pun bisa beristirahat dengan nyaman, jalan menuju Nyaungshwe juga mulus lancar.

Untuk istirahat makan malam bus berhenti dua kali yaitu jam 11 malam dan 5 pagi di rumah makan yang sudah bekerja sama, sayangnya saya hanya memanfaatkan fasilitas toilet dan tidak untuk makan karena rumah makan yang didatangi tidak menunjukan '786'. Dan pagi itupun sekali lagi daerah Nyaungshwe gerimis sama seperti Yangon, alamat mati gaya lagi kah saya di Danau Inle ???
  
Berikutnya (Sehari di Danau Inle bertemu dengan suku Kayan/Leher Panjang)...

4 comments:

  1. Blognya menarik nih, Saya berencana mo ke Myanmar akhir tahun ini dan masih bingung ap bener Myanmar lebih murah drpd Vietnam? Sehari bisa habis brp buat makan doang soalnya saya ngtrip paling tar pas udh mo minggu trakhir dsana. Terimakasih!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mas Rico, makasih udah baca sebelumnya. Untuk biaya makan disana hampir sama seperti di Indonesia. Kalau di bandingkan dengan Vietnam saya kurang tahu soalnya belum pernah kesana. Standar harga makanan 1000 s/d 2500 Kyat (Rp.10.000 s/d 25.000) tergantung jenisnya :)

      Delete
  2. Halo mas muji. Saya berencana ke myanmar bulan depan dan punya seharian (dari pagi-sore) di Yangon sebelum malamnya langsung bertolak ke Bagan. Kalo local bus, ada info yang bisa dilihat lebih jelasnya? Terus kalo masalah masjid nih, saya pernah baca kebanyakan masjid di Yangon masih cenderung konservatif dan melarang perempuan untuk solat di masjid. Sejauh mata memandang waktu mas muji ke masjid di area sule tsb, apa ditemui adanya tempat solat untuk jamaah perempuan? Terimakasih sebelumnya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hako Mba...untuk bus kalau mau bisa langsung ke terminal Aung Mingalar kurang lebih 30 menit dari Yangon.

      Untuk Masjid memang perempuan tidak boleh shalat di Masjid, biasanya diajak ke rumah warga lokal untuk numpang shalat. Banyak warga muslim kok di area Sule road, tanya-tanya aja kalau mau sholat dimana, biasanya di akan langsung nawarin tempatnya untuk dipake sholat.

      Delete