Jejak Kawah Ijen - Memikul Secercah Harapan

Kawah Ijen - Mengawali hari dengan berjalan menyusuri gelapnya malam, seorang penambang belerang agaknya sudah terbiasa untuk berangkat pagi dini hari menyusuri sebuah jalan setapak di temani cahaya senter teram temaram memecah kegelapan malam dengan berjalan membawa keranjang. Tidak jarang di tengah perjalanan hembusan angin malam berhembus kencang membuat daun pohon cemara gunung yang banyak tumbuh seperti mengajak berbincang menemani perjalanan penambang belerang. Sudah menjadi santapan wajib bagi seorang penambang belerang menyusuri jalan menanjak dan berliku disertai udara dingin dan tanah berdebu, tak serta merta menyurutkan langkah kaki penambang belerang berjalan menuju dasar kawah untuk mencari bongkahan batu belerang, semakin mendekati dasar kawah belerang  jalan yang akan dihadapi pun semakin menantang dan beresiko tinggi berupa bebatuan terjal disertain tanah berpasir, salah-salah melangkah dapat berakibat fatal dan berujung maut. Api biru 'blue fire' disertai kepulan asap belerang yang pekat menyambut kedatangan penambang, bermodalkan masker yang dibasahi dengan air tawar menjadi alat pelindung tersendiri dari kepulan asap belerang yang pekat menyesakkan nafas. Di tengah kepulan asap tebal para penambang memecahkan batu belerang menjadi bentuk kepingan hingga cukup untuk dibawa menggunakan keranjang.


Selang beberapa jam keranjang yang mereka bawa sudah terisi penuh oleh bongkahan batu belerang, dengan bobot mencapai 60 s/d 80 kg siap mereka bawa hingga ke tempat penimbangan berjarak 3 km jauhnya. Langkah demi langkah mereka pikul keranjang dengan muatan belerang melewati jalan berbatu dan menanjak untuk keluar dari area kawah Ijen, di sela perjalanan terkadang mereka berhenti sejenak untuk istirahat mengisi kembali stamina yang terbuang dengan sebotal air. Tanah berpasir dan berbatu menjadi saksi bisu kerja keras penambang belerang tak kala tetes keringat mereka jatuh membasahi tanah. Di tengah perjalanan para penambang berpapasan dengan wisatawan domestik maupun asing, tidak jarang pula para wisatawan mengajak foto bareng dan terheran atau mungkin begitu simpati dengan kerja keras penambang yang melihat pulahan kilo batu belerang di pikulnya. Sesampainya di tempat penimbangan truk yang akan mengakut belerang pun sudah menunggu kedatangan mereka, satu persatu para penambang antri menunggu untuk proses penimbangan, bermodalkan sebuah timbangan tradisional entah sudah berapa lama tidak di kalibrasi yang mungkin merugikan bagi penambang belerang. Satu kilogram batu belerang yang mereka bawa di hargai sebesar Rp. 750, mendengar angka itu rasanya tidak sebanding dengan kerja keras mereka berjalan jauh dengan membawa beban berat, tapi agaknya angka itu sudah mengalami kenaikan dari sebelumnya yang hanya dihargai Rp. 500. Kenaikan dua ratus rupiah yang sangat berarti sekali bagi penambang, tanpa keluh atau mungkin melakukan demostrasi seperti banyak yang terjadi di kota besar para penambang ikhlas menerima dengan harapan dapat terus berasap dapur bagi keluarga mereka di rumah. Saat ini jumlah total penambang sudah sedikit berkurang dibandingan dengan beberapa tahun sebelumnya, banyak dari mereka sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kerja keras penambang belerang agaknya lebih terhormat dan jauh lebih baik dibandingkan dengan para pejabat kerah putih dengan modal nafsu serakah menggerogoti uang rakyat dan lebih terhormat tidak terhina dari para gelandang pengemis yang menyalahgunakan kebaikan seseorang hanya untuk mengharapkan rupiah semata padahal mereka masih mampu untuk bekerja layaknya penambang belerang.




No comments:

Post a Comment