Belajar Dari Kearifan Suku Baduy

Ciboleger - Mengawali perjalanan selama 2 jam dengan menaiki kereta dari St. Tanah Abang menuju St. Rangkas Bitung dilanjutkan naik angkutan umum dengan tujuan Terminal Aweh dan diakhiri dengan naik bus tujuan Ciboleger mengantarkan langkah kami semakin dekat menuju daerah Ciboleger, Lebak - Banten. Desa Ciboleger tujuan kami merupakan pintu masuk utama menuju pemukiman suku Baduy, suku Baduy terbagi dua wilayah menjadi Baduy Dalam dan Luar yang dipisahkan oleh aliran sungai. 

Setiba di Ciboleger, kami sudah ditunggu oleh dua orang anak dengan usia belum genap 20 tahun yang merupakan penduduk asli Baduy Dalam. Berpakaian serba hitam dari baju hingga celana ditambah pengikat kepala berkain putih dan tas seadanya berupa kain yang diikatkan di bahu mereka. Terlihat dari betis kekar mereka dan jari-jari kaki yang agak sedikit besar dari ukuran normal menandakan mereka sudah terbiasa berjalan jauh tanpa alas kaki. Salah satu bahkan pernah pergi sampai Jakarta dengan berjalan kaki selama 3 hari.


Memasuki pemukiman Suku Baduy kita akan menjumpai pemukiman Baduy Luar terlebih dahulu yang sebagian penduduknya menjajakan oleh-oleh khas Baduy seperti hasil tenun, gantungan kunci hingga madu dengan harga berfariatif. Kehidupan suku Baduy Luar agaknya tidak sedikit berbeda dengan Suku Baduy Dalam yang masih terisolasi dengan aliran listrik hanya saja kita masih diperbolehkan untuk menggunakan peralatan elektronik seperti handphone dan kamera.

Untuk menuju Baduy Dalam jarak tempuh perjalanan sekitar 4 jam waktu normal dengan jarak 12 km dari Ciboleger. Akses jalan yang dilalui berupa daerah berbukit, sebagian adalah sawah tadah hujan dan ladang milik penduduk setempat. Aliran sungai berarus deras dan bersih mengalir melewati beberapa pemukiman Baduy Luar. Tidak jarang kami berpapasan dengan penduduk lokal yang tengah selesai memanen hasil tani dan buah seperti durian. Buah durian khas Baduy terkenal dengan ukurannya yang kecil dan buahnya manis.


Sebelum memasuki area Baduy Dalam kita harus menyimpan dan mamatikan semua peralatan elektronik sebagai bentuk penghormatan atau menghargai peraturan warga lokal yang memang tidak diperbolehkan menggunakan alat elektronik. Sebelum sampai di salah satu kampung Baduy Dalam kita akan disambut dengan jejeran lumbung padi milik warga yang diletakkan diluar pemukiman agar terhidar dari kebakaran apabila terjadi. Kampung Baduy Dalam sendiri dimpimpin oleh ketua adat yang biasa disebut Puun. 

Sore itu akhirnya kami tiba di salah satu kampung Baduy Dalam, lerlihat jejeran rumah penduduk setempat berupa rumah panggung berukuran sekitar 6 x 6 meter dan tidak terlalu tinggi, terbuat dari bambu dengan atap ijuk berlapis daun rumbia yang berjajar searah. Untuk rumah di Baduy Dalam sendiri hanya terdapat satu pintu masuk saja dan tidak ada jendala berbeda dengan Baduy Luar. Untuk satu pintu masuk bermakna kehidupan rumah tangga hanya diperbolehkan satu istri saja. Untuk ruangan di dalam rumah sendiri hanya dibagi dua ruangan yaitu dapur dan ruang keluarga sekaligus tempat untuk tidur.

Kedatangan kami disambut senyum ramah penduduk dan beberapa terheran aneh melihat kedatangan kami yang memang berpakaian berbeda dari mereka. Suasana di Baduy dalam sendiri memang terlihat berbeda dibandingkan Baduy Luar, dimana kondisinya lebih sepi, sunyi dan jauh lebih damai. Merasakan suasana kehidupan masyarakat seperti kembali ke beberapa ratus tahun silam dimana rumah masih sangat tradisional, tidak ada aliran listrik dan barang elektronik lainnya, ayam, burung dan hewan lain seperti kucing dan ajing bebas berkeliaran tanpa dibatasi kandang dan sangkar.   

Kearifan suku Baduy sangat terasa sekali dalam menjaga alam dan lingkungan mereka tinggal, untuk mandi saja kita harus pergi menuju sumber mata air diluar pemukiman, dengan bak mandi terbuat dari kayu dan gayungnya terbuat dari batok kelapa serta tidak diperbolehkan menggunakan sabun dan sampo yang mengandung bahan kimia yang berpengaruh terhadap alam. Aliran sungai di Baduy Dalam sendiri masih sangat jernih tidak ada sampah bahkan batu di sungai jarang yang berlumut sehingga tidak licin. Untuk menjaga kebersihan kampung di setiap depan rumah warga tersedia karung kosong sebagai tempat sampah, sehingga dapat dipastikan jarang sampah terilihat. 

Belajar dari suku Baduy tentang bagaimana kita menghargai alam tempat kita tinggal sepatutnya dapat menjadi contoh bagi warga yang tinggal di perkotaan. Ditengah berbagai kondisi bencana yang terjadi saat ini seperti banjir dan tanah longsor yang salah satu penyebabkan merupakan ulah manusia sendiri yang kurang peduli dengan alam dan lingkungan tempat mereka tinggal. Karena sesungguhnya bencana seperti banjir dapat kita cegah dan minimalisir dengan pengelolaan lingkungan secara arif dan bijaksana seperti contoh mudahnya dengan tidak membuang sampah sembarangan. Simbisosis mutualisme antara alam dan manusia masih sangat dibutuhkan saat ini, tidak hanya manusia sebagai parasit yang terus menerus eksplorasi alam tanpa ada kesadaran untuk menjaganya dan bijak memanfaatkan alam tersebut.

'Be responsible traveler  

1 comment:

  1. Dari dulu kepengen ke Badui, tapi nggak nyampek2 he he he salam kenal om :)

    ReplyDelete