Pendakian Gunung Rinjani - Hai Dewi Anjani, Kami Mau Bertamu ke Rumah Mu (Part 1)

Semilir angin berhembus menerpa kami berlima yang duduk di bagian belakang sebuah badan pick up, duduk beralaskan tikar berwarna hijau lumut tanpa kursi empuk dan sabuk pengaman. Kaki kami pun dengan gampang berselonjor tanpa harus repot menekuk manahan pegal selama tiga jam kedepan nanti. Menaiki sebuh pick up dengan bak terbuka kita dapat merasakan arti sebuah kebebasan sesungguhnya, bebas lebih dekat dengan alam tanpa kaca pembatas, seperti kebebasan kami selama delapan hari kedepan dari rutinitas pekerjaan di belakang meja komputer. 


"Catatan Perjalanan Gunung Rinjani Lombok"
Persiapan Perjalanan Menuju Sembalun
Mobil mulai berjalan pelan menuju jalan utama kota, pergi menjauhi rumah seorang teman yang kami singgahi semalam tepatnya berada di daerah Lombok Barat, empat puluh lima menit dari Bandara International Lombok (BIL)-Praya. Hamparan sawah menghijau serta aliran deras sungai berbatu besar menjadi sebuah pemandangan yang jarang kami jumpai ketika bergulat mencari pundi rupiah di kota besar. 

Lombok, sebuah pulau berpenduduk tiga juta jiwa di dominasi penduduk beragama muslim dimana saya tidak perlu bersusah payah mencari masjid ketika ingin shalat tak seperti halnya kota gigapolitan, karena di sepanjang jalan banyak ditemukan masjid dengan menara tinggi menjulang sehingga mudah sekali ditemukan. 

Bukan untuk survei jumlah masjid di pulau ini, ya bukan untuk survei, kedatangan saya lebih dari itu. Terbang selama dua jam dari Jakarta, tujuan saya kali ini lebih prestisius dari sekedar berjemur sambil membaca novel tebal lima ratus halaman ala bule berbikini sambil menghitamkan kulit putih mereka seperti yang saya jumpai di pinggir pantai Gili Trawangan. 

Kebulatan tekad, kekuatan fisik serta mental di tuntut lebih dari sekedar menjawab pertanyaan berupa pilihan ganda pada ujian akhir ataupun pertanyaan sidang skripsi dengan tiga orang penguji yang siap memuntahkan amunisi pertanyaan, yang terkesan sudah menyiapkan pertanyaan diluar materi skripsi. Penguji dalam perjalanan kali ini bukanlah penguji dengan kacamata tebal dengan raut muka innocent ketika tidak meluluskan atau tidak segan memberi nilai C pada mahasiswanya.

Penguji yang akan dihadapi nanti tak lain adalah diri sendiri, dimana akan terlihat batas kemampuan diri kita menghadapi berbagai macam bentuk pertanyaan sesungguhnya dari alam. Gunung Rinjani, terkesan cantik nama gunung yang diambil dari nama seorang dewi, Dewi Anjani. Dengan tinggi 3.726 mdpl siap menjadi saksi bisu ujian kami sesungguhnya menghadapi jenis medan pendakian berupa padang savana, hutan tropis, jalan berpasir dan berbatu.

Gunung Rinjani sendiri memiliki tiga pintu masuk utama sebagai jalur resmi pendakian, yakni Sembalun, Senaru dan Torean. Banyak pendaki lebih mengawali pendakian lewat jalur Sembalun dan diakhiri lewat Senaru, rombongan saya pun demikian memilih lewat Sembalun dan berakhir di Senaru disempati bertenda di pinggir Danau Segara Anak.

Terik panas matahari sepajang jalan menyelimuti perjalanan menuju basecamp Sembalun, cuaca cerah siang hari itu seperti sedang mendukung keberangkatan kami mendaki puncak tertinggi Gunung Rinjani. Selang dua jam perjalanan, pemandangan berubah menjadi hutan dengan pohon tinggi menjulang di kanan dan kiri jalan. Perlahan udara semula terik berubah menjadi sejuk, saya pun tak segan mencuci paru-paru dari kotoran kepulan asap kendaraan dengan udara pegunungan yang masih bersih terjaga tanpa diakhiri minuman susu campur soda seperti calon karyawan yang akan dites kesehatannya, di sepanjang jalan juga banyak dijumpai monyet liar dengan bulunya yang berwarna abu-abu 'monyet' sedang asik mencari makan dan beberapa bergunjing sambil menyusui anak mereka.

Kendaraan yang kami tumpangi perlahan memperlambat lajunya berhenti di pinggiran sebuah lereng.


"Catatan Perjalanan Gunung Rinjani Lombok"
Mas Roni Sedang Asik Makan Siang Sambil Ditunggui Seekor Monyet

"Disebelah sana (sambil menunjuk sebuah tempat) ada tempat bagus buat foto-foto".

Kata Mas Roni, lelaki berambut gondrong berperawakan lebih mirip Sule (cuma tidak di cat pirang rambutnya) yang tidak pernah absen dari tahun 2003 hingga kini selalu dengan ritual tahunannya mendaki Gunung Rinjani, total hingga saat ini (2015) sudah empat belas kali Mas Roni mendaki Gunung Rinjani, sampai-sampai nama anak perempuannya dia beri nama "Senja Indah Rinjani", damn bagus banget namanya kan bro??? Sampai saya berpikir sebegitu memikatkah Gunung Rinjani sampai ada orang yang rela bolak balik buat menjenguknya layaknya kampung halaman yang tidak afdol jika lebaran tidak pulang untuk dijenguk, termaksud adik saya yang sudah dua kali dan akan balik lagi suatu hari nanti.


"Catatan Perjalanan Gunung Rinjani Lombok"
View Desa Sembalun Dari Atas Bukit

"Catatan Perjalanan Gunung Rinjani Lombok"
Pick Up Sayur Membawa Hasil Panen Untuk di Jual di Kota Besar

"Pemandangan yang tadi kamu foto disana itu belum seberapa, banyak yang lebih bagus lagi diatas nanti" Jelas Mas Roni.

"Yang bener Mas ?" Tanya saya seolah tidak percaya, yang baru saya foto saja sudah stunning view.


***

Sebelum memulai pendakian, setiap pendaki wajib melapor sekaligus membayar retribusi berupa tiket masuk sebesar sepuluh ribu rupiah per orang per dua hari untuk turis lokal sedangkan turis asing lebih mahal. Setelah membayar tiket masuk, petugas akan meberikan semacam tag yang wajib dipasang selama pendakian. Ada dua macam warna tag yang diberikan, tag hijau untuk pendaki lokal sedangkan tag berwarna merah untuk turis asing. 

Umumnya setiap pendaki menggunakan jasa 'porter' guna membawa perbekalan dan perlengkapan pendakian seperti bahan makanan dan minuman, tenda, alat masak dan sebagainya (tidak termaksud membawa orang disaat kelelahan). Harga sewa porter perhari berkisar dua ratus ribu (lokal) dan satu juta per hari (bule) belum termaksud uang rokok dan transportasi ke tempat porter tersebut stand by. Ada beberapa keuntungan jika menyewa jasa porter, disamping bisa membawakan barang bawaan, porter Rinjani terkenal akan keahlian mengolah bahan makanan layaknya koki profesional lulusan Master Chef. Baik hidangan lokal seperti sekedar memasak sayur lodeh, nasi goreng hingga mie rebus sampai hidangan luar dengan display menawan ketika hendak disajikan, berani di adu masak di Hell Kitchen binaan Chef Ramzy. Bravo porter Rinajni !!!

Selain porter ada juga guide dengan bahasa Inggris cukup lumayan dan dengan muka pas-pas'an yang biasa mengantar para pendaki, umumnya banyak disewa oleh turis asing, ada hal yang membuat saya iri pada para guide, beberapa diantara mereka adalah seorang polyglot yang bisa berbica dalam beberapa bahasa disamping bahasa ibu seperti bahasa Inggris dan Perancis (salah satu bahasa menurut saya tidak mudah). 

Ada satu perbedaan paling mencolok antara seorang porter dan guide, jangan salah jika seorang guide berpangku tangan atau tangan kosong ketika membawa tamunya, beberapa dari mereka bahkan ikut membantu porter membawakan barang bawaan seperti tenda dan sejenisnya, sedangkan porter tidak harus membawa tamunya sampai puncak tertinggi dan guide harus mengantarkan tamu yang dibawanya dari basecamp sampai puncak tertinggi dan kembali lagi ke basecamp begitulah seterusnya. 


Basecamp Sembalun - Pos 2

"Catatan Perjalanan Gunung Rinjani Lombok"
Rombongan Sapi Selepas Mencari Makan

Gemerincing lonceng rombongan sapi berwarna kecoklatan layaknya hendak menikahkan anaknya ditambah suara "Emoooooo" seolah melepas keberangkatan pendakian kami dari Desa Sembalun. Sore itu sapi-sapi telah selesai mencari makan di padang rumput yang berada di perbukitan Taman Nasional Gunung Rinjani

Jalan setapak perkampungan penduduk dengan canda tawa anak-anak yang sedang asik bermain sebelum disuruh mandi sore oleh ibunya, dengan tatapan seolah mengerti jika kami hendak pergi mendaki terlihat dari tas besar yang menggantung di pundak kami, sudah menjadi pemandangan biasa buat mereka.   


"Catatan Perjalanan Gunung Rinjani Lombok"
5 Pendekar Siap Mendaki Gn.Rinjani Demi Sebuah Misi Rahasia :)

Bebatuan di sungai besar kering tak berpenghuni kami lewati dengan mudahnya berbanding terbalik 180 derajat dengan anak sekolah dasar di Banten yang bersusah payah menyeberangi sungai berarus deras merayapi jembatan rusak yang tak layak guna demi menuntut ilmu manggapai cita. 

Lolongan suara anjing menyambut senja menggema di padang savana berwarna coklat keemanasan, mengingatkan saya akan keindahan Baluran di musim panas. Selimut awan menutupi jejeran bukit dan gunung di depan, seolah tidak ada apa-apa di ujung jalan sana. 

Adapatasi tinggi setelah lama tak mendaki ditandai dengan suara hela nafas seolah udara sudah hampir habis tak tersisa didalam paru-paru, ditambah detak jantung berdegup kencang seolah dipaksa kerja lebih keras layaknya sehabis berlari 10 kilometer lebih. Ditambah kicauan seorang teman dengan lantang berbisik...

"Breakkkkkkkk!!!" 

Teriak lantang Adel, seorang cewek berdarah Batak, teman satu kantor yang baru memulai karir pendakiannya beberapa bulan lalu, sudah dua gunung yang dia daki dengan sukses sebelumnya (Dieng dan Papandayan). Entah setan apa yang masuk sampai-sampai merubah dirinya dari anak pantai sejati menjadi anak gunung, saking terobsesinya dengan keindahan pantai yang pernah didatanginya, kelak anaknya nanti akan diberi nama 'Laut', mungkin lain lagi nasib nama anaknya jika dilahirkan jauh dari pantai tetapi banyak air, mungkin akan diberi nama 'Banjir' dengan sedikit filosofi "Tenang tapi menghanyutkan :)"

Rona langit kemerahan diufuk barat seolah menjadi penanda pada kami harus segera mengeluarkan headlamp sebelum gelap datang.

"Nanti didepan sana ada hutan, mending keluarin headlamp dari sekarang" Jelas seorang navigator kami bernama Hendra, sudah empat kali dia menjenguk rumah sang dewi. Saya pun segera mengeluarkan headlamp yang ditaruh di bagian paling atas ransel sehingga mudah mengambilnya, tanpa kesulitan headlamp telah terpasang.

Perlahan siang berganti malam gelap dan hitam. Suara serangga nokturnal saling saut seolah memanggil satu dengan yang lain padahal mereka tidak saling mengenal. Sepasang mata kecil bersinar memantulkan cahaya, kupu-kupu malam kecil sibuk mengitari sumber cahaya di kepala saya layaknya menawarkan jasa nya padahal mereka masih kecil sekelas cabe-cabean.

Berjalan dibaris depan memimpin rombongan, melewati jalan setapak tertutup dedaunan kering dan akar berbatu. Sesekali bilang "Awas akar, awas batu, awas lubang, awas copet" memberitahukan ke teman dibelakang bernama Ahmad setengah nokturnal karena karena dia bisa melihat jalan dalam kondisi gelap  tanpa alat bantu seperti headlamp mungkin karena kebiasaannya yang suka tidur telat alias begadang.

Rimbunan rumput ilalang sepanjang mata memandang, berwarna coklat pada batangnya dan tunas berbunga merah keunguan menghiasi perjalanan menuju pos dua. Bunyi jangkrik saling sahut dengan serangga malam lainnya. Udara dingin belum begitu terasa malam itu dikarenakan kami masih sibuk berjalan sambil menggendong tas ransel.  

Ditengah istirahat malam itu setelah 3 jam perjalanan, kami gunakan untuk mengambil nafas lebih dalam sambil meregangkan kaki. Tas ransel dijadikan sandaran sehingga badan dan kaki membentuk seratus empat puluh lima derajat. Air mineral yang kami bawa berubah menjadi dingin seperti diambil dari lemari pendingin, seteguk demi teguk membasahi kerongkongan yang sudah kering laksana ladang tak dialiri air dari irigasi "Akhh nikmatnya". Mata saya berkelana menerawangan di kegelapan malam, langit cerah malam itu.

"Sat, matiin headlamp !" teriak saya kepada Satrio karena hanya miliknya yang masih menyala.

"Coba liat ke atas!" pinta saya.

Ribuan, bukan! Bahkan jutaan titik titik kecil bersinar dengan posisi tidak teratur menghiasi langit malam. Entah rasi apa yang terlihat saya tak paham, membanjiri langit malam dengan keindahan jutaan bintang yang tak akan terlupakaan. Kami semua pun terdiam sampai mulut ternganga melihat indahnya cipataan Allah SWT.

"Wah Milky Way (menunjuk gususan bintang yang terlihat lebih rapat berwarna merah keemasan) " tunjuk saya.


Tak terasa sudah setengah jam kami duduk terdiam melihat pemandangan langit malam itu. Angin berhembus mulai mengajak pergi untuk terus melanjutkan perjalanan yang tinggal sedikit lagi sampai. Sampai akhirnya terlihat tenda kuning menyala terang mandakan pos dua sudah didepan mata, langkah kami percepat sambil menahan dingin angin malam hingga tenda kuning tegak berdiri menjadi tempat berteduh untuk melanjutkan perjalanan keesokan pagi. Kami pun tertidur nyenyak berbalut sleeping bag.

3 comments:

  1. Nice story

    ReplyDelete
  2. seru pendakian ke rinjaninya, jadi pengen kesana juga


    salam
    www.travellingaddict.com

    ReplyDelete