Main ke Patong - Dua Jam Duduk di Kursi Panas

"Ayo, buru bro!" teriak kawan saya sore itu menyuruh saya untuk bergerak lebih cepat lagi ketika keluar dari shuttle bus yang mengantar kami selepas mengikuti tur keliling kepulauan Phi Phi, bus berhenti tepat di depan hostel. Kami kembali lagi ke hostel untuk mengambil tas di tempat kami menginap saat berada di Patong. Petugas yang biasa berjaga di meja lobby sambil menonton youtube entah kemana tak terlihat batang hidungnya, sempat kami teriak memanggil petugas tersebut dan mengetuk pintu kamarnya tapi tak ada jawaban. 

Segera saja kami mangambil tas dan beberapa oleh-oleh yang dibeli saat di Singapura yang berada dalam plastik kresek merah yang kami titipkan dekat meja lobby. Ketika hendak keluar hostel baru lah terlihat penjaga dengan rambut tampak basah seperti habis keramas dan masih menggunakan handuk selaras dengan warna plastik kresek saya menutupi bagian dada sampai atas lutut, padahal dia cowo (tau gitu tadi teriak "Raziiiiaaaa!!!!" biar doi keluar, hahaha). Rupanya sang penjaga sedang mandi saat kami teriak memanggilnya tadi. Kami pun pamit dan izin mengambil barang dan segera keluar meninggalkan hostel yang berlokasi dekat dengan jalan raya dan pantai Patong. 

"Patong Beach District"
Deretan Ruko di Bibir Pantai Patong
Tanpa memikirkan kondisi badan yang super lengket (mirip-mirip lem tikus cap gajah lah) bukan terkena getah pohon melainkan karena lengket hasil keringat dari lari kecil bercampur sisa air laut yang  mulai mengering membasahi badan saya yang sudah berubah warna menjadi lebih gelap dari biasanya, terbakar matahari selepas jadi anak pantai sehari. Tak kalah rambut pun mengeras seperti menggunakan gel hard wax, ditambah pasir pantai putih berhambur. Mungkin jika saya mengenakan kemeja hitam orang mengira saya tidak pernah keramas berbulan-bulan, bukan karena rambut saya bau melainkan pundak kemeja hitam yang saya kenakan penuh dengan pasir putih yang lebih mirip ketombe. Gak kalah mengenakan baju ganti setengah basah alias lembab terkena air pantai dan celana pendek lebih tepatnya celana kolor merah bercampur pasir yang seharian digunakan selama bermain air di pantai. 

Berjalan tergesa-gesa membawa tas dan barang bawaan lainnya sesekali melihat jam tangan, sudah menunjukan waktu hampir jam 6 sore. Melihat waktu yang hampir pukul 6, segera kami melipat gandakan langkah dari langkah normal. Sekarang ini kami sedang berada di Thailand bukan di Jepang, jadi teringat saat berada di Jepang dimana pada jam berangkat kantor, orang Jepang berjalan dengan sangat cepat mungkin tiga langkah per detik tanpa saling tabrak dengan yang lain ditambah mereka akan berlari ketika melihat kereta yang akan datang.

Bukan tanpa alasan dari tadi kami berjalan terburu-buru seperti dikejar penjahat atau perempuan jadi-jadian ala Patong, sebaliknya kami lah yang sedang mengejar waktu, menuju tempat pembelian tiket shuttle bus ke Bandara Phuket dengan keberangkatan terakhir jam 6 sore. Kami rela lari dari hostel agar tidak tertinggal shuttle bus karena dengan tiket seharga 120 baht (sekitar Rp.36.000,-) lah yang paling cocok harganya dengan kantong kami yang sudah kehabisan baht, dibandingkan menggunakan taksi yang jauh lebih mahal sekitar 800 baht untuk sekali jalan. 


"Phuket Guide Tour Phi Phi"
Bukan di Kejar si Baju Merah ya Brooo...
Jarak antara hostel tempat saya menginap dengan terminal shuttle bus sekitar sekitar 500 meter atau 30 menit dengan berjalan kaki. Jalan melewati pusat keramaian kota Patong yang merupakan salah satu daerah wisata populer di pulau Phuket,Thailand. Di sepanjang jalan di dominasi tempat hiburan berupa bar, klub malam, restoran dan hotel, merupakan salah satu ciri khas wisata pantai. Banyak di jumpai lalu lalang turis asing terutama bule dari Eropa dan  Asia Timur di pusat kota Patong. Sarana transportasi sangat terbatas di daerah ini, pilihan utama yang ada adalah menyewa sepeda motor secara harian dengan harga 300 baht (Rp. 100.000,-) per hari dan wajib menyerahkan paspor kepada pihak rental, sempat was was juga saat harus menyerahkan paspor yang merupkan dokumen penting ketika berada di negera asing karena takut di salah gunakan. Dan bensin wajib di isi penuh (1 liter 20 baht) sebelum motor dikembalikan.

"Patong Street"
Jalan di Patong
Selang beberapa menit terlihat tempat penjualan tiket, berupa ruang kecil berukuran 3 x 4 meter berlantai satu tidak jauh dari pasar Patong tempat kami makan nasi goreng seafood bercap halal kemarin di hari pertama kami tiba di Patong. Dengan muka kelelahan dan kulit semakin lengket karena keringat terus bercucuran, akhirnya saya sampai di tempat penjualan tiket bus yang masih menunjukan adanya aktivitas, namun tidak ada calon penumpang lain dan di halaman parkir juga  tidak terlihat bus yang akan berangkat ke bandara. Hanya ada penjaga sekaligus penjual tiket yang sedang sibuk merapihkan meja kerjanya yang terlihat hendak pulang, seorang warga asli Thailand berbadan tambun, kulit kehitaman lebih mirip anak pantai dan wajah seperti bukan etnis Thai berumur sekitar 35 tahun lebih mirip seperti kebanyakan orang Indonesia hanya berbeda bahasa saja, penjaga tersebut bernama Vinit. 

"Where you come from?" tanya Vinit dengan bahasa Inggris cukup jelas ketika milihat kami datang, "We are  from Indonesia", jawab saya, "Yeah, I know Malaysia" lanjut Vinit, "What?" saya terheran, sambil mikir nih orang budek atau saya ngomongnya yang kurang jelas. "No, not Malaysia. But Indonesia" tegas saya. "Do you know Indonesia?" tanya saya memastikan pada Vinit. "No, I don't know" jawab dia. "Are you sure, you don't know Indonesia ?" tanya saya lagi sambil mikir kalau nih orang pasti gak lulus SD atau gak ada pelajaran geografi di kurikulumnya, masa iya negera sebesar Indonesia dan masih sesama ASEAN dia gak tau sedangkan Malaysia dia tahu #miris. Karena mengejar waktu ke bandara, akhirnya saya cuma bilang ke dia "Indonesia and Malaysia is different!, not same" tegas saya. Dia hanya mengangguk mengiyakan kata saya.

"Is there still a shuttle bus to the airport?" tanya saya pada Vinit, "The last had departed" jawab Vinit, mendengar jawaban Vinit muka kami langsung menunjukkan kekecewaan, ternyata bus terakhir menuju bandara baru jalan 10 menit yang lalu jelas Vinit. Alhasil kami berdua tampak kebingungan memikirkan cara pergi ke bandara Phuket yang berjarak 40 km atau sekitar 2 jam perjalanan menggunakan bus dari Patong, sedangkan kami harus tiba di bandara sebelum jam 21.00, karena pesawat kami menuju Kuala Lumpur akan take off malam ini pukul 22.00, spontan kami langsung cari informasi dengan bertanya pada Vinit cara tercepat dan termurah menuju bandara. Vinit memberikan pilihan cara ke bandara dengan menggunakan taksi atau memilih tuktuk dengan harga untuk rute Patong sampai Bandara Phuket berkisar diatas 800 baht. 


"Hallal Foods Patong, Phuket Thailand"
Nasi Goreng Seafood dijamin Halal
Mengingat kami sudah kehabisan baht dan hanya tersisa sekitar 200 bath saja, kami berdua memutar otak mencari cara agar bisa lebih cepat dan dan tentunya lebih murah sampai bandara, maklum cara pikir backpacker kere seperti kami adalah ingin serba ramah di kantong, karena kami bawa budget extra ngepas. Memang di saat dadakan otak di tuntut bekerja lebih cepat dari biasanya dan yang terpenting adalah tidak panik disaat kondisi darurat seperti sekarang ini. 

Kami tanya ke Vinit, "Is there rent motorcycle with driver around here? ", "No", jawab dia singkat, wah saya pikir cepet banget jawab nya gak pake acara mikir dulu nih orang. Gak lama dia kasih kami pencerahan  yang ujung-ujungnya menawarkan diri buat jadi tukang ojeg  alias siap anter kami berdua sampai bandara Phuket #gubrak. Langsung saya tanya, "how much for two people?", dengan cepat dia jawab "700 baht" dengan membandingkan jika kami harus naik taksi atau tuktuk yang harganya lebih mahal.

Saya pun tanya ke teman, apa dia masih pegang uang 500 bath, karena baht yang saya pegang tinggal 200. Ternyata bahtnya hanya sisa 200 sama seperti saya, karena kurang akhirnya saya coba tawar ke Vinit apakah bisa dia kasih harga lebih murah lagi dari harga awal, akhirnya dengan mengeluarkan bargain skill ala emak-emak yang lagi belanja di pasar, saya langsung tawar sadis kurang dari setengah harga awal yaitu 300 baht sambil pasang muka melas penuh harap dan sambil menunjukan sisa baht yang ada. "No, can't" jawab dia. 

Dia kasih alasan jarak Patong ke bandara cukup jauh dan dia menawarkan akan mengantar kami lewat jalan pintas jadi lebih cepat dan lebih aman. Sehingga harganya tidak bisa di tawar, karena tau uang kami sudah hampir habis dia memberikan harga 600 baht sebagai harga akhir. "Do you accept rupiah? tanya teman saya sambil menunjukan lembaran merah bergambar dua tokoh proklamator RI. "No!" jawab dia tegas. Indonesia aja dia nggak tau apalagi mau terima rupiah pikir saya.


"Patong Beach, Sin maker love this place"
View Sunset Pantai Patong
Akhirnya kami setuju dengan harga yang di tawarkan sebesar 600 baht, sisa kekurangan sebesar 200 baht akan dibayarkan dengan sisa rupiah teman saya dan akan ditukar di money changer saat menuju bandara. Tidak lama Vinit segera mengeluarkan motornya. Vinit mengeluarkan sepeda motor bebek Jupiter Z miliknya, sepeda motor gradasi hitam dan biru dengan model yang sudah tertinggal terlihat dari pelek ban nya yang masih menggunakan jari-jari besi tetapi masih bersih terawat, di tambah keranjang berwarna merah muda yang biasa terlihat di sepeda terpasang di bagian depan mempertegas kelamin si motor bebek

"Is thing okay to bring us to the airport?" tanya saya dengan sedikit ragu ketika melihat motor yang dia keluarkan. "Dont worry, still in good condition" jawab dia memastikan bahwa motor bebek miliknya sanggup membawa kami bertiga beserta barang bawaan berupa dua ransel yang terisi penuh. Vinit kembali lagi ke dalam tempat dia bekerja sebelum akhirnya menutup rapat dan mengunci tempat kerjanya tersebut, di bawanya dua buah helm half face salah satunya berwarna merah muda seukuran kepala Vinit, sedangkan helm hitam dengan ukuran lebih besar dipakai oleh teman saya, dan saya sendiri tidak menggunakan helm karena Vinit hanya memiliki dua buah saja.

Tanpa membuang waktu, kami segera cari posisi duduk senyaman mungkin sekaligus mengatur letak barang bawaan yang pas dengan motor bebek milik Vinit, ransel saya dengan ukuran lebih kecil diletakan di depan Vinit diapit antara kemudi dengan jog, keranjang depan digunakan meletakkan plastik kresek merah dan barang perintilan lainnya seperti tripod. Vinit duduk di depan pegang kemudi, saya yang berbadan kurus duduk ditengah diapit antara Vinit dan teman saya yang berbadan lebih besar. Pijakan kaki yang ada kami gunakan secara bergantian atau terpaksa saling tumpang tindih alias injek-injekan jika kedua kaki kami merasa pegal.

Di tengah jalan, tak jarang kami bertiga menjadi pusat perhatian, bahkan ada turis asing menertawai kami dari bagian belakang tuktuk menyalip dari sebelah kanan, mungkin mereka belum terbiasa melihat sebuah motor bebek ditumpangi tiga orang dewasa atau mereka terbiasa melihat tiga penumpang ditumpangi bebek di negara mereka. 

Senja sore kemerahan terlihat di ujung lautan dari jalan berbukit, melepas keberangkatan kami meninggalkan hingar bingar Patong. Jalan raya beraspal mulus memicu Vinit meningkatkan kecepatan motor bebeknya ditambah kondisi jalan sepi bebas kemacetan ibarat seorang begal sedang mengejar mangsanya. Perlahan riuh suara kota berubah menjadi sepi khas pedesaan, kanan kiri jarang terlihat rumah penduduk hanya barisan tinggi pohon kelapa dan gelap malam di iringi lampu neon di setiap sisi jalan berliku. 

Angin berhembus kencang sekencang Vinit menarik gas sepeda motornya, ditambah rasa lelah semakin merayu mata ini untuk memejamkan mata beberapa saat. Kepala saya pun terkantuk-kantuk sambil mengangguk layaknya boneka anjing di dashboard depan sebuah mobil, sesekali kepala saya jatuh mengenai helm Vinit. Rasa panas dan pegal tidak hanya dirasakan oleh badan saya, pantat saya yang dari awal tidak mendapat ruang gerak pun demikian kepanasan, sudah hampir 30 kilometer berjalan tanpa henti si Vinit terus menarik gasnya.


'Halal Foods at Phuket Market"
Rumah Makan Halal di Pasar Bersih Patong
Ketika memasuki daerah kota, Vinit coba bercerita sambil menunjukan beberapa bangunan berupa gedung pemerintahan dan daerah pemukimam Muslim kepada saya agar rasa kantuk saya hilang. Mata saya hanya melihat kondisi jalan sekitar, mengawasi andai saja ada Polantas yang tiba-tiba menghentikan motor Vinit dan memberikan tilang karena dua pelanggaran sekaligus, tidak menggunakan helm dan penumpang berlebih, lebih apesnya lagi jika sampai kita berdua kena tilang, "semoga tidak". Tapi anehnya di jalan pusat kota Phuket yang ramai lalu lalang kendaraan bermotor tidak ada satu pun petugas Polantas terlihat berbeda seperti Jakarta.    

Pandangan saya pun beralih melihat marka jalan yang menunjukkan jarak ke bandara sesering saya bertanya kepada Vinit "How many kilometers to airport?", dia pun menjawab sambil menghitung mundur setiap kali saya bertanya "20 km, 15 km, 10 km". Tiba-tiba saja Vinit membelokan arah kendaraannya ke kiri, terlihat antrian mobil dan motor yang tidak begitu panjang mengisi bahan bakar dan Vinit meminta setengah bayarannya (300 baht) untuk mengisi bensin yang terlihat sudah hampir habis, kesempatan ini pun tak saya sia-sia kan guna sedikit melenturkan badan dan pergi ke toilet untuk buang air kecil dan cuci muka, akhirnya pantat saya yang keram bisa bergerak bebas kembali, surga dunia sekali.

Perjalanan kami lanjutkan selepas mengisi bensin dan meregangkan pantat yang keram, tersisa 8 kilometer lagi sebelum sampai bandara. Hingga akhirnya 30 menit berselang terlihat marka menunjukan arah Bandara International Phuket ke arah kanan dan terlihat pesawat dengan lampu kelap kelip seperti kunang-kunang terbang rendah turun landas dengan suara gaduhnya. Tak seperti bandara lain, di bandara Phuket motor bebek bisa masuk mengantar hingga depan pintu kedatangan, disaat orang lain turun dengan anggun dan berwibawa dari pintu mobil, bus atau tuktuk sekalipun berbeda sekali dengan saya yang turun bercelana kolor merah dari motor bebek berkeranjang merah dengan pesawat berlogo merah menanti di landasan pacu sebelum terbang.

Segera kami pamit dan membayar uang kekurangan sebesar 300 bath dan pergi masuk ke terminal keberangkatan internasional meninggalkan Vinit dan motor bebek miliknya. Sebelum masuk ke imigrasi, kami cari toilet untuk membersihkan badan kami yang sudah tak karuan aromanya sekaligus ganti pakaian bersih. Jika di flash back sebenarnya kami berdua ketinggalan bus bandara dikarenakan supir bus yang mengantar kami dari pelabuhan Phuket Town menuju hostel mengemudi dengan sangat lamban. Sang supir begitu patuhnya pada lampu merah dan kecepatannya maksimal 50 km/jam. Beruntung kami tidak ketinggalan pesawat menuju Kuala Lumpur. Alhamdullilah :)  

No comments:

Post a Comment